Mampu Hasilkan 60.000 Ton Pertahun, Tambang Batubara Ilegal di Kawasan TNBT Indragiri Hilir Dinilai Kebal Hukum

Foto lokasi gerbang menuju tambang
PEKANBARU, GRESRIAU.COM - Tambang-tambang ilegal terus beraksi mengeruk bumi di Selensen, Kecamatan Kemuning, Inhil. Eksploitasi tambang Batubara, Split, dan Tanah Urug sudah berlangsung beberapa tahun terakhir hingga saat ini.
Instansi yang membidangi hal itu belum menunjukkan upaya penanganan terkait keberadaan pertambangan itu.
Belum lama ini aktivis lapisan masyarakat di Kota Pekanbaru melaporkan pertambangan itu ke Polda Riau bulan Februari lalu. Namun hingga memasuki bulan ke empat pelaporan, belum juga menunjukkan adanya upaya kepolisian di Riau dalam menegakkan hukum.
Menurut narasumber terpercaya yang dirangkum GRESRIAU.COM eksploitasi itu katanya, sedikitnya dapat menghasilkan 3.000-4.000 ton Batubara dalam satu bulan khusus Batubara saja. Setiap hari nya beberapa tronton antri memasuki gerbang penambang. Mereka bekerja dari pagi, sore hari, bahkan hingga malam. Hasil alam ini diangkut dengan Dump Truck Tronton roda 10 melintasi jalan lintas Selensen.
Konon, spekulasi informasi juga bermunculan usai pemberitaan sebelumnya timbul ditengah publik. Beberapa pihak yang terlibat menemui GRESRIAU.COM. Mereka juga mengatakan, hasil Batubara itu disuplai ke salah satu perusahaan kertas terbesar di Riau.
Sementara untuk batu Split disuplai ke Perusahaan-perusahaan kelapa sawit, ke perusahaan yang membutuhkan untuk perbaikan jalan.
Secara sepintas lokasi ini berdekatan dengan kawasan hutan Taman Nasional Bukit Tiga Puluh. Informasi yang berhasil terkonfirmasi dari Tata Usaha Taman Nasional Bukit Tiga Puluh (TNBT) membenarkan lokasi itu memang mendekati Kawasan TNBT tempat terakhir flora dan fauna yang akan terancam punah.
Keberadaan wilayah penambangan ini mencapai sekitar 30 Ha sedang di perluas 50 Ha.
"Lokasi itu berada di hutan produksi terbatas (HPT) yang dapat dikonversi. 1,8 km dari TNBT," Kata Lukman belum lama ini.
Narasumber terpercaya menambahkan, pemilik tambang tersebut bernama HN (inisial). HN disebut-sebut orang yang berpengaruh dan memiliki keluarga yang berpengaruh di wilayah pemerintahan Indragiri Hilir, Riau.
HN seakan mendapat perlakuan istimewa ditengah oknum penegak hukum di Riau. Bahkan penambangan ini disebut-sebut melibatkan banyak pihak yang memiliki kepentingan.
Pelapor, aktivis di Riau Gerakan Sungguh Suara Sejati (GASS) meminta kegiatan itu agar ditindak tegas. Sebab, penambangan itu tidak memberikan kontribusi ke negara, melainkan ke kantong oknum yang terlibat.
Hal itu sebagai bukti lemahnya pengawasan internal di kepolisian dan pengawasan di Energi Sumber Daya Mineral (ESDM).
Kegiatan itu diduga tidak memiliki izin dan berada di kawasan, yang tentunya melanggar pasal 158 UU RI nomor 3 tahun 2020 tentang Pertambangan Minerba dan Undang-Undang No 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan dan Undang-Undang Cipta Kerja 38 ayat 1.
"Kami meminta agar Polda Riau transparan menyikapi laporan pengaduan masyarakat, supaya nama baik kapolda tidak buruk dipandang masyarakat," pungkas Ketum GASS, Rinto Silaban.